I.
WARISAN
MARX DAN PERSPEKTIF TEORI KRITIS
Pendekatan
Marx yang paling dikenal masyarakat yaitu mengenai sistem pembagian dua kelas
yaitu kelas borjuis (pemilik modal) dan proletar (buruh).
1.
Asumsi
Filosofis Marxis
Bahwa
kondisi materiil merupakan hal yang paling penting dalam struktur masyarakat. Selain
itu adanya kesadaran palsu yaitu ketika orang bekerja dengan begitu tekun dan
tidak mau protes atas pekerjaan yang sebenarnya melampaui batas kemampuannya
serta tidak mau terlibat dalam perjuangan revolusioner. Analisa Marx mengenai
alienasi (keterasingan) dapat dibagi menjadi 4 yaitu: dari proses produksi,
dari produk yang dihasilkan dari kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan
dari dirinya sendiri. Kondisi objektif dari kelas pekerja dan dari majikan
kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya mengalienasi, tanpa menghubungkannya
dengan reaksi subjektif mereka atas kondisinya.
2.
Konteks
Sosiopolitis dari Pertumbuhan Teori Kritis
Teori kritis muncul tahun 1930-an,
dengan aliran Frankfurt yang sedang bangkit yaitu Nazisisme dengan sifat yang
begitu sentral. Pada tahun 1960-an Habermas termasuk pada aliran Frankurt yang
pada masanya itu wawasan dan perspektif teori kritis disatukan dengan pelbagai kerangka
“new left” atau kerangka sosiologi
radikal. Isu-isu sosiopolitis semakin luas dengan penyalahgunaan kekuasaan,
birokratisasi yang berlebihan, serta tidak tanggapnya institusi birokrasi
terhadap kebutuhan manusia.
3.
Kesadaran
Subyektif dan Bentuk Dominasi
Di Amerika ketika pluralisme dan
toleransi yang dangkal akan membetuk dominasi yang tajam dan sama besarnya
dalam orientasi budaya yang dibentuk dari kesadaran subyektif. Bentuk dominasi
ini meliputi pembentukan pandangan hidup dan cara berpikir yang tidak begitu
terlihat dari kontrol politik secara nyata. Bentuk dominasi yang paling tajam
dan halus adalah kapasitas produksi dari sistem kapitalis. Maka timbullah
perasaan kurang puas dan adanya status
quo. Marx menyebutkan bahwa fungsi Negara untuk melindungi dan mendukung kepentingan
kelas kapitalis.
4.
Perspektif
Kritis dan Teori Psikoanalitis
Teori psikoanalitis Freud menjelaskan
kesediaan terang-terangan dari orang-orang dalam suatu massa rakyat untuk
mengorbankan kebebasan dan keselamatan. Bagi Freud, konsep represi mencerminkan
ketegangan yang tidak dapat dielakkan dan konflik antara insting serta dorongan
alamiah individu dan dan persyaratan kehidupan sosial organisasi, khusunya
dalam suatu peradaban yang kompleks. Persyaratan tersbut diendapkan kedalam
proses sosialisai sehingga konflik antar individu dan masyarakat menjadi suatu
konflik internal psikologis. Konflik tersebut dikonspetualisasikan menjadi id, ego, dan super-ego.
5.
Teori
Kritis dan Perspektif Fenomenologis
Perspektif fenomenologis relevan dengan
gambaran tentang kenyataan sosial yang dikembangkan oleh para ahli teori
kritis. Dunia benda fisik dan dunia sosial merupakan satu persepsi yang
terbatas dan parsial dan mencerminkan perspektif subyektif. Pendekatan
fenomenologis sejalan dengan perspektif interaksionisme symbol yang
dikembangkan oleh Mead dengan prinsip dasar bahwa kita menerima dan memberikan
respons terhadap obyek didalam lingkungan kita menurut arti simbolisnya yang
dikonstruksikan secara sosial melauli komunikasi dan disatukan dengan kategori
persepsi subyektif yang dasar dari pikiran kita. Tujuan teori kritis adalah
untuk melampaui bentuk-bentuk pengetahuan yang berlaku dengan menjadi sadar
akan akaibat-akibatnya yang menghambat tindakan manusia. Strategi dasar dari
ahli teori kritis adalah menguji dan menilai secara kritis pola-pola
institusional yang berlaku dan ideologi-ideologi atau bentuk-bentuk kesadaran menurut
perspektif kebutuhan manusia yang fundamental akan otonomi, perkembangan
diri,dsb. Tujuan akhirnya yaitu untuk memperbesar dan mendorong pembebasan atau
emansipasi dari pelbagai bentuk dominasi politik (internal dan eksternal).
II.
ANALISA
KRITIS MILLS MENGENAI ELIT KEKUASAAN DI AMERIKA
Mills
lahir dan besar di Texas, dia menyandang gelar Ph.D dari Universitas Wisconsin
dan menghabiskan seluruh hidup profesinalnya di Universitas Columbia. Dia
meninggal tahun 1962. Analisa Mills mengenai elit kekuasaan di Amerika
dituangkan dalam bukunya “The Power
Elite”. Tesis sentralnya bahwa mereka yang menduduki posisi atas dalam
institusi ekonomi, ekonomi, militer, dan politik”orang kaya perusahaan”,
“panglima perang” militer, dan “direktur politik” membentuk kurang lebih elit
kekuasaan yang terintegrasi dan terpadu yang keputusan-keputusan pentingnya itu
menemukan struktur dasar dan arah masyarakat Amerika.
1.
Perkembangan
Sejarah Struktur Kekuasaan Amerika
Pada pertengahan abad 19 masyarakat
Amerika berkembang dinamis dengan struktur masyarakatnya terdiri dari pedagang
kecil dan petani modern dengan sistem kekuasaan pemerintah bersifat
desentralisasi dan ideologinya laissez faire. Pertengahan ke 2 adab ke 19
ditandai dengan adanya perusahaan dagang besar yang dipimpin oleh militer yang
kejam. Dan abad 20 dengan adanya kekuasaan politik federal dan berdirinya New
Deal yang hasil perkembangannya ke bentuk yang lebih besar, pengaruh
pemerintahan federal , konsentrasi, dan konsolidasi kekuasaan.
2.
Ikatan
Sosial Antarelit
Mills mengemukakan satu hal penting
bahwa orang sangat kaya mungkin karena mendapatkan warisan atau hasil dari
investasi atau karena menduduki eksekutif tinggi dari perusahaan raksasa. Hal
tersebut akan menunjuukan adanya kekayaan, kekuasaan dan prestise. Elit
kekuasaan seringkali pindah dari satu bidang kebidang lain, kekuasaan elit
bukanlah suatu jaringan monolitik dengan batas-batas yang tertutup, melainkan
serangkaian jaringan yang tumpah tindih, kait mengkait denga batas-batas yang
sebagian dapat ditembus.
3.
Media
Massa dan Masyarakat Massa
Masyarakat tingkat menengah kebawah akan
memiliki pengalaman komunikasi yang terbatas dan terlalu dasar, karena
kurangnya mengetahui media massa. Mereka masyarakat massa yang kurang jelas
para anggotanya dan tidak terlalu mempengaruhi kebijaksanaan umum secara
berarti. Munculnya masyarakat massa semacam ini merupakan hasil dari pengaruh
media massa.
III.
ELIT
KEKUASAAN DAN “HUKUM BESI OLIGARKI”
Robert Michels menyebut
“hukum besi oligarkis” (iron law of
oligarchy) menunjuk pada suatu kecenderungan umum bagi kekuasaan untuk
menjadi terkonsentrasi pada tangan suatu elit yang keputusan dan tindakannya
secara bertahap diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan lebih mereka daripada
meningkatkan kepentingan rakyat jelata. Struktur organisasi demokratis dan
cenderung diubah untuk bentuk oligraki. Jika jarak organisasi relatif kecil,
maka jarak sosial antara pemimpin menjadi agak rendah. Sedangkan organisasi
bertambah besar, jarak sosial bawahan dan struktur kepemimpinan pasti bertambah
besar pula.
IV.
HUBUNGAN
OTORITAS DAN KONFLIK SOSIAL SUMBANGAN DAHRENDORF
Konflik
sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konsekuensi konflik
itu dalam melahirkan perubahan sosial. Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol
atas alat produksi merupakan faktor penting dan bukan pemilikan alat produksi.
Pendekatan Dahrendorf berlandas pada asumsi bahwa semua sistem sosial itu
dikoordinasi secara imperatif (imperatively
coordinated) dengan hubungan otoritas.
1.
Implikasi
Fungsionalis versus Marxis dalam Pendekatan Dahrendorf
Perhatian dahrendorf pada umumnya adalah
pada struktur otoritas, bukan hubungan kekuasaan murni. Kontrol atas alat
produksi mencerminkan struktur otoritas yang melembaga dan bukan dominasi yang
semata-mata berdasarkan kekuasaan. Dahrendorf banyak menggunakan gaya retorika
Marx serta terminologinya yang berhubungan dengan pembentukan kelas, kesadaran
kelas, dan sebagainya, pokok permasalahan dasar dari perspektif sangatlah
berbeda dari Marx dan ada miripnya dengan Parsons. Kepentingan kelas obyektif yang ditentukan
secara struktural yang tidak disadari oleh individu disebut Dahrendorf dengan
kepentingan laten dan kepentingan manifest.
2.
Munculnya
Kelompok Kepentingan Konflik
Salah satu tujuan Dahrendorf yang utama
adalah menjelaskan kondisi-kondisi dimana kepentingan laten itu menjadi
manifest dan kelompok-kelompok semu itu dapat diubah menjadi kelompok-kelompok
kepentingan yang bersifat konflik. Kondisi tersebut bisa diklasifikasikan
sebagai (1) kondisi teknis, (2) kondisi politik, (3) kondisi sosial.
Kepentingan yang didasarkan pada kelas sangat mungkin untuk menjadi manifest
dalam kesadaran individ dan merangsang tindakan kelas kalau batas-batas antara
kelas tidak dapat ditembus dan angka mobilitasnya rendah. Dahrendorf
mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat konsistensi, semakin besar pula
kemungkinan bahwa kesadaran kelas akan berkembang dan tindakan kelas
dijalankan.
3.
Intensitas
dan Kekerasan Konflik
Itensitas menunjuk pada pengeluaran
energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak yang berkonflik. Konsep
kekerasan menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling
bertentangan itu untuk mengejar kepentingannya. Menurut Dahrendorf jika
mobilitas meningkat maka solidaritas kelompok semakin digantikan oleh kompetisi
antarindividu, dan energi yang dikeluarkan oleh individu dalam konflik kelas
berkurang. Intensitas dan kekerasan konflik dipengaruhi oleh persebaran
penghargaan, fasilitas, pemilikan, dan status sosia umumnya. Semakin besar
tumpah tindih atau konsistensi antara persebaran otoritas dan persebaran
penghargaan materiil, jaminan ekonomis, status sosial, dan sebagainya semakin
besar pula intensitas konflik kelas. Ketika deprivasi sosioekonomi dari mereka
yang berada pada kelas subordinat bersifat absoluti, maka konflik kelas mungkin
akan keras.
4.
Pengaturan
Konflik dan Kekerasan
Kepentingan-kepentingan yang
bertentangan dan pengembangan mekanisme pengaturan konflik kemungkinan akan
mengurangi kekerasan. Pengaturan konflik didasarkan pada pengakuan yang
eksplisit akan kenyataan dan kebenaran adanya konflik. Contohnya adalah
pelembagaan konflik itu ditentukan oleh prosedur-prosedur perembukan kolektif
yang ditegakkan antara serikat buruh dan pimpinan perusahaan industry.
5.
Konsekuensi
Konflik: Perubahan Struktural
Satu fungsi dari konflik yaitu
menimbulkan perubahan struktur sosial, khususnya yang berhubungan dengan
struktur otoritas. 3 tipe perubahan structural adalah (1) Perubahan keseluruhan
personel di dalam posisi dominasi (2) Perubahan sebagain personel dalam posisi
dominasi (3) digabungkannya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam
kebijaksanaan kelas yang berkuasa. Menurut Dahrendorf perubahan struktural bisa bersifat radikal
(berhubungan dengan tingkat perubahan) dan bersifat tiba-tiba (berhubungan
dengan kecepatan perubahan).
6.
Model
Konflik versus Model Fungsional
Perbedaannya bisa dijelaskan sebagai
berikut:
a. Teori
konflik
1. Setiap
masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan, dan perubahan sosial ada
dimana-mana.
2. Setiap
masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, dan konflik sosial
ada dimana-mana.
3. Setiap
elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan.
4. Setiap
masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
b. Teori
fungsional
1. Setiap
masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang secara relatif mantap
dan stabil
2. Setiap
masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang terintegrasi dengan baik
3. Setiap
elemen dalam suatu masyarakat mempunyai fungsi, yakni memberikan sumbangan pada
bertahannya masyarakat itu sebagai sistem.
4. Setiap
struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu consensus nilai di antara
para anggotanya.
V.
ANALISA
FUNGSIONAL TENTANG KONFLIK: SUMBANGAN COSER
Coser
memulai pendekatannya dengan suatu kecaman terhadap tekanan pada nilai atau
konsensus normatif, keteraturan, dan keselarasan. Proses konflik dipandang dan
diperlakukan sebagai sesuatu yang mengacaukan atau disfungsional terhadap
keseimbangan sistem itu keseluruhan. Coser mendasarkan analisanya dalam The Functions of Social Conflict. Bagi
Coser bahwa konflik tidak harus merusakkan atau bersifat disfungsional untuk
sistem dimana konflik itu terjadi, melainkan bahwa konflik itu dapat mempunyai
konsekuensi-konsukuensi positif atau menguntungkan sistem itu.
1. Konflik Antarkelompok dan
Solidaritas Kelompok-Dalam
Kekuatan solidaritas
internal dan integrasi kelompok dalam itu bertambah tinggi karena tingkat
permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar. Fungsi konflik eksternal untuk memperkuat
kekompakan internal dan meningkatkan moral kelompok sedemikian pentingnya.
Beberapa kelompok sangat menyandarkan diri oada oposisi atau konflik untuk
membenarkan eksistensi kelompok itu sendiri. Contohnya partai politik oposisi
dan sekte agama. Suatu kelompok dengan kekompakan yang rendah atau meluasnya
sikap apatis mungkin menanggapi ancaman luar itu malah menjadi lebih apatis
lagi, pecah dan konflik didalam, atau kocar kacir.
2. Koflik dan Solidaritas dalam
Kelompok
Coser mengakui bahwa
semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonism tertentu, ketegangan,
atau perasaan-perasaan negatif. Ketegangan dan perasaan negative merupakan
hasil dari keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraannya, kekuasaan,
prestise, dukungan sosial, atau penghargaan lainnya. Ada tidaknya konflik
terbuka dapat merupakan indikator yan menyesatkan mengenai kekompakan atau
solidaritas kelompok itu. Kelompok dengan konflik terbuka sesungguhnya memiliki
soslidaritas yang lebih tinggi daripada kelompok yang tidak memiliki konflik.
Coser mengemukakan bahwa hubungan emosional yang dekat ditandai oleh sikap
ambivalen atau oleh perasaan positif dan negatif yang berkaitan erat.
3. Konsekuensi Dipendamnya Konflik
Konflik yang dipendam
akan menyebabkan beberapa konsekuensi antara lain: (1) dapat memutuskan
hubungan, jika konflik bersifat meledak maka timbul amukan yang dahsyat. (2)
mengelakkan masalah bermusuhan itu dari sumber yang sebenarnya, dan
mengembangkan suatu saluran alternatif (dapat berupa safety valve) untuk mengungkapkannya.
4. Konflik Realistik versus yang
Nonrealistik dan Perubahan Sosial
Konflik realistic
merupakan satu alat untuk suatu tujuan tertentu, dimana tujuan tercapai mungkin
akan menghilangkan sebab-sebab dasar dari konflik itu dan bersifat diarahkan
dari konflik itu. Sedangkan konflik nonrealistic mencakup ungkapan permusuhan
sebagai tujuannya sendiri dan bersifat membelok dari obyek konflik yang
sebenarnya. Konflik yang realistic sering merupakan rangsangan utama untuk
perubahan sosial. Tekanan-tekanan yang memuncak akan menjadi suatu revolusi
yang keras yang mengakibatkan perubahan struktural yang radikal.
5. Konflik sebagai suatu Stimulus
untuk Integrasi
Konflik sering
memperkuat batas antara kelompok dalam dan kelompok luar. Konflik juga
meningkatkan usaha untuk menggalang solidaraitas kelompok dalam tersebut. Coser
mengemukakan bahwa konflik kekerasan biasanya berakhir jauh sebelum pihak yang
kalah itu kehabisan semua kekuatannya untuk terus berperang. Konflik sering merangsang
usaha untuk mengadakan persekutuan dengan kelompok-kelompok lain. Apabila
kepentingan dan nilai yang terdapat dalam suatu koalisi dan bersedia menerima
atau merundingkan maka perpecahan tidak akan terlihat tajam.
VI.
DINAMIKA
KONFLIK INTERAKSIONAL: SINTESA TEORITIS COLLINS
Randall Collins dalam
bukunya Conflict Sociology menjelaskan kerangkan teoritis umum untuk
sosiologi sebagai suatu disiplin ilmiah dan mendasarkannya pada landasan
perilaku kehidupan riil dari individu dan polainteraksi ditingkat mikro. Dengan
teori strafikasinya, dia memberikan jembatan antara tingkat antara yang mikro
dan makro.
1. Ritus Interaksi dan Stratifikasi
Sosial
Pada proses interaksi
mikro Collins menghubungkan tekan Durkheim pada solidaritas ritual dengan
analisa Goffman mengenai strategi-strategi yang digunakan dalam mementaskan
penampilan-penampilan interaksional. Collins menekankan bahwa ritus-ritus
interaksi ditingkat mikro (dari Goffman) dijelaskan dengan kuat dengan sistem
stratifikasi masyarakat. misalnya,
mereka yang berada pada posisi dominasi akan memperhatikan ketaatan orang pada
ritus yang memperlihatkan secara dramatis dominasinya, dan memelihara serta
meperkuat ikatan emosional dari pada subordinat dengan keteraturan sosial yang
ada.
2. Pekerjaan dan Hubungan Otoritas
Collins menekankan
pekerjaan (occupation) sebagai factor penentu utama terhadap posisi kelas
seseorang. Hubungan antara pemilikan benda dan posisi dalam struktur otoritas
dalam suatu organisasi ekonomi berbeda-beda menurut situasinya. Collins tidak
mengikuti model hubungan otoritas dua-kelas melainkan bahwa hubungan otoritas
atau hubungan kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu persebaran hirarkis yang
berkesinambungan yang mencerminkan sejumlah orang yang diberi perintah.
Pengalaman pekerjaan dari mereka yang berada pada lapisan yang paling bawah
akan menghasilkan kebudayaan kelas pekerja tersendiri. Mereka yang berada pada
tingkat menengah kebawah paling kurang memiliki risiko yang sangat minim dalam
strukrur sosial yang ada.
3. Dinamika Kelompok Status
Collins menekankan
bahwa orang-orang pada umumnya memulai dan mempertahankan hubungan sosial yang
memungkinkan mereka untuk mempertahankan atau memperbaiki status subyektifnya
sebesar-besarnya. Status biasanya hanya terlihat pada penampilan yang menarik,
sehingga orang lain kan mengunggulkanya. Status dapat diperoleh melalui
kompetisi baik bersifat persahabatan ataupun tidak. Kelompok status muncul dari
usaha mereka yang memiliki sifat-sifat yang sama untuk saling memberikan
dukungan soial dan mepertahankan klaim statusnya melaan mereka yang berbeda.
Beberapa karakteristik yang dapat menjadi relevan untuk pembentukan kelompok
meliputi usia, seks, kepentingan rekreasi, latar belakang etnis, tingkat
oendidan, keanggotaan kelompok agama, dan komunitas tempat tinggal.
4. Penerapan Model Ini
Model Collins dapat
diterapkan baik pada tingkat mikro maupun makro, tetapi proses tingkat makro
itu didasarjab pada proses tingkat mikro, daripada keduanya berdiri sendiri.
Collins telah memberikan masing-masing proposisi melalui analisanya mengnai
stratifikasi, humum besi oligarki, konflik, ritus agama dan lain sebagainya.
Sumber Buku: Teori Sosiologi