salam

Minggu, 21 September 2014

KONFLIK DAN PERUBAHAN SOSIAL



I.                   WARISAN MARX DAN PERSPEKTIF TEORI KRITIS
Pendekatan Marx yang paling dikenal masyarakat yaitu mengenai sistem pembagian dua kelas yaitu kelas borjuis (pemilik modal) dan proletar (buruh).
1.      Asumsi Filosofis Marxis
Bahwa kondisi materiil merupakan hal yang paling penting dalam struktur masyarakat. Selain itu adanya kesadaran palsu yaitu ketika orang bekerja dengan begitu tekun dan tidak mau protes atas pekerjaan yang sebenarnya melampaui batas kemampuannya serta tidak mau terlibat dalam perjuangan revolusioner. Analisa Marx mengenai alienasi (keterasingan) dapat dibagi menjadi 4 yaitu: dari proses produksi, dari produk yang dihasilkan dari kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya sendiri. Kondisi objektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subjektif mereka atas kondisinya.
2.      Konteks Sosiopolitis dari Pertumbuhan Teori Kritis
Teori kritis muncul tahun 1930-an, dengan aliran Frankfurt yang sedang bangkit yaitu Nazisisme dengan sifat yang begitu sentral. Pada tahun 1960-an Habermas termasuk pada aliran Frankurt yang pada masanya itu wawasan dan perspektif teori kritis disatukan dengan pelbagai kerangka “new left” atau kerangka sosiologi radikal. Isu-isu sosiopolitis semakin luas dengan penyalahgunaan kekuasaan, birokratisasi yang berlebihan, serta tidak tanggapnya institusi birokrasi terhadap kebutuhan manusia.

3.      Kesadaran Subyektif dan Bentuk Dominasi
Di Amerika ketika pluralisme dan toleransi yang dangkal akan membetuk dominasi yang tajam dan sama besarnya dalam orientasi budaya yang dibentuk dari kesadaran subyektif. Bentuk dominasi ini meliputi pembentukan pandangan hidup dan cara berpikir yang tidak begitu terlihat dari kontrol politik secara nyata. Bentuk dominasi yang paling tajam dan halus adalah kapasitas produksi dari sistem kapitalis. Maka timbullah perasaan kurang puas dan adanya status quo. Marx menyebutkan bahwa fungsi Negara untuk melindungi dan mendukung kepentingan kelas kapitalis.

4.      Perspektif Kritis dan Teori Psikoanalitis
Teori psikoanalitis Freud menjelaskan kesediaan terang-terangan dari orang-orang dalam suatu massa rakyat untuk mengorbankan kebebasan dan keselamatan. Bagi Freud, konsep represi mencerminkan ketegangan yang tidak dapat dielakkan dan konflik antara insting serta dorongan alamiah individu dan dan persyaratan kehidupan sosial organisasi, khusunya dalam suatu peradaban yang kompleks. Persyaratan tersbut diendapkan kedalam proses sosialisai sehingga konflik antar individu dan masyarakat menjadi suatu konflik internal psikologis. Konflik tersebut dikonspetualisasikan menjadi id, ego, dan super-ego.

5.      Teori Kritis dan Perspektif Fenomenologis
Perspektif fenomenologis relevan dengan gambaran tentang kenyataan sosial yang dikembangkan oleh para ahli teori kritis. Dunia benda fisik dan dunia sosial merupakan satu persepsi yang terbatas dan parsial dan mencerminkan perspektif subyektif. Pendekatan fenomenologis sejalan dengan perspektif interaksionisme symbol yang dikembangkan oleh Mead dengan prinsip dasar bahwa kita menerima dan memberikan respons terhadap obyek didalam lingkungan kita menurut arti simbolisnya yang dikonstruksikan secara sosial melauli komunikasi dan disatukan dengan kategori persepsi subyektif yang dasar dari pikiran kita. Tujuan teori kritis adalah untuk melampaui bentuk-bentuk pengetahuan yang berlaku dengan menjadi sadar akan akaibat-akibatnya yang menghambat tindakan manusia. Strategi dasar dari ahli teori kritis adalah menguji dan menilai secara kritis pola-pola institusional yang berlaku dan ideologi-ideologi atau bentuk-bentuk kesadaran menurut perspektif kebutuhan manusia yang fundamental akan otonomi, perkembangan diri,dsb. Tujuan akhirnya yaitu untuk memperbesar dan mendorong pembebasan atau emansipasi dari pelbagai bentuk dominasi politik (internal dan eksternal).

II.                ANALISA KRITIS MILLS MENGENAI ELIT KEKUASAAN DI AMERIKA
Mills lahir dan besar di Texas, dia menyandang gelar Ph.D dari Universitas Wisconsin dan menghabiskan seluruh hidup profesinalnya di Universitas Columbia. Dia meninggal tahun 1962. Analisa Mills mengenai elit kekuasaan di Amerika dituangkan dalam bukunya “The Power Elite”. Tesis sentralnya bahwa mereka yang menduduki posisi atas dalam institusi ekonomi, ekonomi, militer, dan politik”orang kaya perusahaan”, “panglima perang” militer, dan “direktur politik” membentuk kurang lebih elit kekuasaan yang terintegrasi dan terpadu yang keputusan-keputusan pentingnya itu menemukan struktur dasar dan arah masyarakat Amerika.
1.      Perkembangan Sejarah Struktur Kekuasaan Amerika
Pada pertengahan abad 19 masyarakat Amerika berkembang dinamis dengan struktur masyarakatnya terdiri dari pedagang kecil dan petani modern dengan sistem kekuasaan pemerintah bersifat desentralisasi dan ideologinya laissez faire. Pertengahan ke 2 adab ke 19 ditandai dengan adanya perusahaan dagang besar yang dipimpin oleh militer yang kejam. Dan abad 20 dengan adanya kekuasaan politik federal dan berdirinya New Deal yang hasil perkembangannya ke bentuk yang lebih besar, pengaruh pemerintahan federal , konsentrasi, dan konsolidasi kekuasaan.

2.      Ikatan Sosial Antarelit
Mills mengemukakan satu hal penting bahwa orang sangat kaya mungkin karena mendapatkan warisan atau hasil dari investasi atau karena menduduki eksekutif tinggi dari perusahaan raksasa. Hal tersebut akan menunjuukan adanya kekayaan, kekuasaan dan prestise. Elit kekuasaan seringkali pindah dari satu bidang kebidang lain, kekuasaan elit bukanlah suatu jaringan monolitik dengan batas-batas yang tertutup, melainkan serangkaian jaringan yang tumpah tindih, kait mengkait denga batas-batas yang sebagian dapat ditembus.

3.      Media Massa dan Masyarakat Massa
Masyarakat tingkat menengah kebawah akan memiliki pengalaman komunikasi yang terbatas dan terlalu dasar, karena kurangnya mengetahui media massa. Mereka masyarakat massa yang kurang jelas para anggotanya dan tidak terlalu mempengaruhi kebijaksanaan umum secara berarti. Munculnya masyarakat massa semacam ini merupakan hasil dari pengaruh media massa.

III.             ELIT KEKUASAAN DAN “HUKUM BESI OLIGARKI”
Robert Michels menyebut “hukum besi oligarkis” (iron law of oligarchy) menunjuk pada suatu kecenderungan umum bagi kekuasaan untuk menjadi terkonsentrasi pada tangan suatu elit yang keputusan dan tindakannya secara bertahap diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan lebih mereka daripada meningkatkan kepentingan rakyat jelata. Struktur organisasi demokratis dan cenderung diubah untuk bentuk oligraki. Jika jarak organisasi relatif kecil, maka jarak sosial antara pemimpin menjadi agak rendah. Sedangkan organisasi bertambah besar, jarak sosial bawahan dan struktur kepemimpinan pasti bertambah besar pula.

IV.             HUBUNGAN OTORITAS DAN KONFLIK SOSIAL SUMBANGAN DAHRENDORF
Konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konsekuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor penting dan bukan pemilikan alat produksi. Pendekatan Dahrendorf berlandas pada asumsi bahwa semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif (imperatively coordinated) dengan hubungan otoritas.
1.      Implikasi Fungsionalis versus Marxis dalam Pendekatan Dahrendorf
Perhatian dahrendorf pada umumnya adalah pada struktur otoritas, bukan hubungan kekuasaan murni. Kontrol atas alat produksi mencerminkan struktur otoritas yang melembaga dan bukan dominasi yang semata-mata berdasarkan kekuasaan. Dahrendorf banyak menggunakan gaya retorika Marx serta terminologinya yang berhubungan dengan pembentukan kelas, kesadaran kelas, dan sebagainya, pokok permasalahan dasar dari perspektif sangatlah berbeda dari Marx dan ada miripnya dengan Parsons.  Kepentingan kelas obyektif yang ditentukan secara struktural yang tidak disadari oleh individu disebut Dahrendorf dengan kepentingan laten dan kepentingan manifest.

2.      Munculnya Kelompok Kepentingan Konflik
Salah satu tujuan Dahrendorf yang utama adalah menjelaskan kondisi-kondisi dimana kepentingan laten itu menjadi manifest dan kelompok-kelompok semu itu dapat diubah menjadi kelompok-kelompok kepentingan yang bersifat konflik. Kondisi tersebut bisa diklasifikasikan sebagai (1) kondisi teknis, (2) kondisi politik, (3) kondisi sosial. Kepentingan yang didasarkan pada kelas sangat mungkin untuk menjadi manifest dalam kesadaran individ dan merangsang tindakan kelas kalau batas-batas antara kelas tidak dapat ditembus dan angka mobilitasnya rendah. Dahrendorf mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat konsistensi, semakin besar pula kemungkinan bahwa kesadaran kelas akan berkembang dan tindakan kelas dijalankan.

3.      Intensitas dan Kekerasan Konflik
Itensitas menunjuk pada pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak yang berkonflik. Konsep kekerasan menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan itu untuk mengejar kepentingannya. Menurut Dahrendorf jika mobilitas meningkat maka solidaritas kelompok semakin digantikan oleh kompetisi antarindividu, dan energi yang dikeluarkan oleh individu dalam konflik kelas berkurang. Intensitas dan kekerasan konflik dipengaruhi oleh persebaran penghargaan, fasilitas, pemilikan, dan status sosia umumnya. Semakin besar tumpah tindih atau konsistensi antara persebaran otoritas dan persebaran penghargaan materiil, jaminan ekonomis, status sosial, dan sebagainya semakin besar pula intensitas konflik kelas. Ketika deprivasi sosioekonomi dari mereka yang berada pada kelas subordinat bersifat absoluti, maka konflik kelas mungkin akan keras.



4.      Pengaturan Konflik dan Kekerasan
Kepentingan-kepentingan yang bertentangan dan pengembangan mekanisme pengaturan konflik kemungkinan akan mengurangi kekerasan. Pengaturan konflik didasarkan pada pengakuan yang eksplisit akan kenyataan dan kebenaran adanya konflik. Contohnya adalah pelembagaan konflik itu ditentukan oleh prosedur-prosedur perembukan kolektif yang ditegakkan antara serikat buruh dan pimpinan perusahaan industry.

5.      Konsekuensi Konflik: Perubahan Struktural
Satu fungsi dari konflik yaitu menimbulkan perubahan struktur sosial, khususnya yang berhubungan dengan struktur otoritas. 3 tipe perubahan structural adalah (1) Perubahan keseluruhan personel di dalam posisi dominasi (2) Perubahan sebagain personel dalam posisi dominasi (3) digabungkannya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang berkuasa. Menurut Dahrendorf  perubahan struktural bisa bersifat radikal (berhubungan dengan tingkat perubahan) dan bersifat tiba-tiba (berhubungan dengan kecepatan perubahan).

6.      Model Konflik versus Model Fungsional
Perbedaannya bisa dijelaskan sebagai berikut:
a.       Teori konflik
1.      Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan, dan perubahan sosial ada dimana-mana.
2.      Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, dan konflik sosial ada dimana-mana.
3.      Setiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan.
4.      Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.

b.      Teori fungsional
1.      Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang secara relatif mantap dan stabil
2.      Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang terintegrasi dengan baik
3.      Setiap elemen dalam suatu masyarakat mempunyai fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya masyarakat itu sebagai sistem.
4.      Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu consensus nilai di antara para anggotanya.
V.                ANALISA FUNGSIONAL TENTANG KONFLIK: SUMBANGAN COSER
Coser memulai pendekatannya dengan suatu kecaman terhadap tekanan pada nilai atau konsensus normatif, keteraturan, dan keselarasan. Proses konflik dipandang dan diperlakukan sebagai sesuatu yang mengacaukan atau disfungsional terhadap keseimbangan sistem itu keseluruhan. Coser mendasarkan analisanya dalam The Functions of Social Conflict. Bagi Coser bahwa konflik tidak harus merusakkan atau bersifat disfungsional untuk sistem dimana konflik itu terjadi, melainkan bahwa konflik itu dapat mempunyai konsekuensi-konsukuensi positif atau menguntungkan sistem itu.
1.      Konflik Antarkelompok dan Solidaritas Kelompok-Dalam
Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam itu bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar.  Fungsi konflik eksternal untuk memperkuat kekompakan internal dan meningkatkan moral kelompok sedemikian pentingnya. Beberapa kelompok sangat menyandarkan diri oada oposisi atau konflik untuk membenarkan eksistensi kelompok itu sendiri. Contohnya partai politik oposisi dan sekte agama. Suatu kelompok dengan kekompakan yang rendah atau meluasnya sikap apatis mungkin menanggapi ancaman luar itu malah menjadi lebih apatis lagi, pecah dan konflik didalam, atau kocar kacir.

2.      Koflik dan Solidaritas dalam Kelompok 
Coser mengakui bahwa semua hubungan sosial pasti memiliki tingkat antagonism tertentu, ketegangan, atau perasaan-perasaan negatif. Ketegangan dan perasaan negative merupakan hasil dari keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraannya, kekuasaan, prestise, dukungan sosial, atau penghargaan lainnya. Ada tidaknya konflik terbuka dapat merupakan indikator yan menyesatkan mengenai kekompakan atau solidaritas kelompok itu. Kelompok dengan konflik terbuka sesungguhnya memiliki soslidaritas yang lebih tinggi daripada kelompok yang tidak memiliki konflik. Coser mengemukakan bahwa hubungan emosional yang dekat ditandai oleh sikap ambivalen atau oleh perasaan positif dan negatif yang berkaitan erat.

3.      Konsekuensi Dipendamnya Konflik
Konflik yang dipendam akan menyebabkan beberapa konsekuensi antara lain: (1) dapat memutuskan hubungan, jika konflik bersifat meledak maka timbul amukan yang dahsyat. (2) mengelakkan masalah bermusuhan itu dari sumber yang sebenarnya, dan mengembangkan suatu saluran alternatif (dapat berupa safety valve) untuk mengungkapkannya.

4.      Konflik Realistik versus yang Nonrealistik dan Perubahan Sosial
Konflik realistic merupakan satu alat untuk suatu tujuan tertentu, dimana tujuan tercapai mungkin akan menghilangkan sebab-sebab dasar dari konflik itu dan bersifat diarahkan dari konflik itu. Sedangkan konflik nonrealistic mencakup ungkapan permusuhan sebagai tujuannya sendiri dan bersifat membelok dari obyek konflik yang sebenarnya. Konflik yang realistic sering merupakan rangsangan utama untuk perubahan sosial. Tekanan-tekanan yang memuncak akan menjadi suatu revolusi yang keras yang mengakibatkan perubahan struktural yang radikal.

5.      Konflik sebagai suatu Stimulus untuk Integrasi
Konflik sering memperkuat batas antara kelompok dalam dan kelompok luar. Konflik juga meningkatkan usaha untuk menggalang solidaraitas kelompok dalam tersebut. Coser mengemukakan bahwa konflik kekerasan biasanya berakhir jauh sebelum pihak yang kalah itu kehabisan semua kekuatannya untuk terus berperang. Konflik sering merangsang usaha untuk mengadakan persekutuan dengan kelompok-kelompok lain. Apabila kepentingan dan nilai yang terdapat dalam suatu koalisi dan bersedia menerima atau merundingkan maka perpecahan tidak akan terlihat tajam.

VI.             DINAMIKA KONFLIK INTERAKSIONAL: SINTESA TEORITIS COLLINS
Randall Collins dalam bukunya Conflict Sociology  menjelaskan kerangkan teoritis umum untuk sosiologi sebagai suatu disiplin ilmiah dan mendasarkannya pada landasan perilaku kehidupan riil dari individu dan polainteraksi ditingkat mikro. Dengan teori strafikasinya, dia memberikan jembatan antara tingkat antara yang mikro dan makro.
1.      Ritus Interaksi dan Stratifikasi Sosial
Pada proses interaksi mikro Collins menghubungkan tekan Durkheim pada solidaritas ritual dengan analisa Goffman mengenai strategi-strategi yang digunakan dalam mementaskan penampilan-penampilan interaksional. Collins menekankan bahwa ritus-ritus interaksi ditingkat mikro (dari Goffman) dijelaskan dengan kuat dengan sistem stratifikasi masyarakat.  misalnya, mereka yang berada pada posisi dominasi akan memperhatikan ketaatan orang pada ritus yang memperlihatkan secara dramatis dominasinya, dan memelihara serta meperkuat ikatan emosional dari pada subordinat dengan keteraturan sosial yang ada.

2.      Pekerjaan dan Hubungan Otoritas
Collins menekankan pekerjaan (occupation) sebagai factor penentu utama terhadap posisi kelas seseorang. Hubungan antara pemilikan benda dan posisi dalam struktur otoritas dalam suatu organisasi ekonomi berbeda-beda menurut situasinya. Collins tidak mengikuti model hubungan otoritas dua-kelas melainkan bahwa hubungan otoritas atau hubungan kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu persebaran hirarkis yang berkesinambungan yang mencerminkan sejumlah orang yang diberi perintah. Pengalaman pekerjaan dari mereka yang berada pada lapisan yang paling bawah akan menghasilkan kebudayaan kelas pekerja tersendiri. Mereka yang berada pada tingkat menengah kebawah paling kurang memiliki risiko yang sangat minim dalam strukrur sosial yang ada.
3.      Dinamika Kelompok Status
Collins menekankan bahwa orang-orang pada umumnya memulai dan mempertahankan hubungan sosial yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan atau memperbaiki status subyektifnya sebesar-besarnya. Status biasanya hanya terlihat pada penampilan yang menarik, sehingga orang lain kan mengunggulkanya. Status dapat diperoleh melalui kompetisi baik bersifat persahabatan ataupun tidak. Kelompok status muncul dari usaha mereka yang memiliki sifat-sifat yang sama untuk saling memberikan dukungan soial dan mepertahankan klaim statusnya melaan mereka yang berbeda. Beberapa karakteristik yang dapat menjadi relevan untuk pembentukan kelompok meliputi usia, seks, kepentingan rekreasi, latar belakang etnis, tingkat oendidan, keanggotaan kelompok agama, dan komunitas tempat tinggal.

4.      Penerapan Model Ini
Model Collins dapat diterapkan baik pada tingkat mikro maupun makro, tetapi proses tingkat makro itu didasarjab pada proses tingkat mikro, daripada keduanya berdiri sendiri. Collins telah memberikan masing-masing proposisi melalui analisanya mengnai stratifikasi, humum besi oligarki, konflik, ritus agama dan lain sebagainya.



Sumber Buku: Teori Sosiologi 

RITUAL PROTES GAYA JAWA-YOGYA: SEBUAH ANALISIS ANTROPOLOGI-STRUKTURAL


Tugas Review Jurnal

Ritual protes yang dilakukan mahasiswa UGM terjadi di kampus UGM dan Keraton Yogya yang merupakan setting sosial  yang berlangsung pada 20 Mei 1998. Ritual protes yang dimaksud adalah aksi masa atau demonstrasi, dimana ritual protes tersebut menuntut pelaksanaan reformasi dan reformasi saat itu adalah identik dengan penggantian presiden Soeharto. Mahasiswa merupakan suatu identitas kelompok sosial. KR tanggal 2 Mei 1998 ritual protes di UGM resmi namanya “PERETEMUAN AKBAR HARI KEBANGKITA NASIONAL” di Auditorium Graha Sabha Pramana UGM. Rektor saat itu dipimpin oleh Prof.Ichlasul Amal. Beliau tidak gila jabatan setelah Soeharto turun, kenyataannyapun demikian. Begitupun mahasiswa, karena mereka merupakan pelopor ideologi pembebasan, kebodohan maupun kemiskinan. Tidak seperti Soeharto yang memimpin Negara dengan beberapa kali jabatan yang menunjukkan anarkis, punya pamrih sehingga tidak didukung rakyat. Terdapat relasi antara Mahasiswa-Soeharto disebut relasi oposisi, Rektor-Soeharto merupakan oposisi, dan mahasiswa-rektor merupakan aliansi atau sinergi dimana bisa dikatakan sinergi yang menunjukkan “amar ma’ruf nahi munkar”.
Ritual protes di Kraton Jogja bernama “AKSI KEPRIHATINAN MASYARAKAT YOGYAKARTA (AKMY) yang dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi di Yogya (Gerakan Rakyat Yogya yang berlangsung secara damai. Terdapat relasi antara rakyat, Sultan Hamengku Buwono X, dan Soeharto. Soeharto-HB X merupakan relasi oposisi, Soeharto-rakyat merupakan relasi oposisi. Dan HB X-rakyat merupakan relasi aliansi atau sinergi. Sinergi rakyat terhadap raja= ritual pepeà ingin bertemu rajaà perhatian raja atau rakyat terhadap raja= ritual mbalelaà rakyat marahà tidak mau bertemu raja.

Ritual protes yang terjadi di kampus UGM maupun Kraton Yogyakarta bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Inilah yang menjadikan unik dan membuat gempar para lapisan bawah maupun atas yaitu pemimpin. Dengan demikian menengok strukturalisme Levi-Strauss bahwa struktur difokuskan pada kenyataan yang terdapat dibalik kenyataan itu sendiri tapi bisa dimafestasikan. Maka dapat dipaparkan bahwa relasi ritual protes di Kraton Yogyakarta adalah rakyat Yogyakarta-Sultan Hamengku Buwono-Presiden Soeharto. Dengan relasi melalui ritual protes tersebut maka adanya stuktur kosmologi kebudayaan Jawa. Jadi, kepemimpinan Soeharto yang dirasa kurang memberikan pengaruh bahkan dinilai anarkis dan diktator terhadap masyarakat, khususnya Yogyakarta maka ritual protes tersebut dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta dan mahasiswa UGM. Relasi yang terjalin antara pemimpin dan bawahan bisa bersifat sinergi maupun oposisi. Penulis menggunakan konsep structural Levi Strauss dan menyajikan kenyataan sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

Jumat, 19 September 2014

Teori Sosiologi Modern: Interaksionisme Simbolik

KENYATAAN SOSIAL MUNCUL DARI INTERAKSI SIMBOLIS

Ide bahwa kenyataan sosial muncul melalui proses interaksi sangat penting dalam teori interaksi simbol. Teori interaksi simbol tidak melihat tingkat subyektif dalam cara yang sama seperti Weber, juga tidak didasarkan padaperspektif Weber secara eksplisit. Sebenarnya Mead memandang teori ini hanya tingkat mikro saja, bahwa institusi-institusi sosial mengalami perubahan apabila ada perubahan dalam definisi-definisi subyektif atau pola-pola interaksi yang menjadi dasarnya. Perhatian utama teori interaksi simbol adalah dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling ketergantungan yang erat antara konsep diri individu dan pengalaman-pengalaman kelompok kecil, negosiasi mengenai norma-norm bersama dan peran-peran individu, serta prose lain yang mencakup individu dan pola-pola interaksi dalam skala kecil.
I.          MEAD DAN PERKEMBANGAN INTERAKSIONISME SIMBOL
Mead pada awalnya mewakili filsafat pragmatism yaitu menekankan hubungan yang erat antara pengetahuan dan tindakan mengatasi masalah (problem solving action). Sumbangan Mead dalam teori ini dalam psikologi sosial mencerminkan latar belakang filosofis yang lebih luas.
1.      Riwayat hidup Mead
George Herbert Mead lahir di south Hadley, massacussetts, Amerika pada 27 febuari 1863, anak dari seorang pendeta. Ayahnya bernama Hiram Mead, sedangkan ibunya bernama Elizabert Storrt Mead adalah seorang yang berkependidikan yang mengajar di obelin college selama dua tahun, kemudian menjadi presiden di mount holkoye college selama 10 tahun. Ketika berumun 10 tahun, George H. mead  masuk fakultas teologi di Oberlin di ohio, dan selesai pada tahun 1883.  Ketika menjadi mahasiswa di sini dia berteman dengan henry castel, seorang yang berasal dari keluarga kaya dan berpendidikan baik. Mereka sesing berdiskusi tentang filsafat dan agama sehingga semakin kritis dan mereka banyak mengembangkan tentang sastra, puisi dan sejarah.
Setelah ia lulus pada umur 20 tahun dan ia mengajar di sebuahsekolah. Namun hanya sebentar karena mendapat penolakann oleh muridnya yang sering gaduh dan tidak serius dalam belajar, kemudian ia bekarja sebagai pekerja survei yang menyusun batas jalan sepanjang 1100 mil dari Minnesota sampai Saskatchewan. Selama tahun-tahun itu mead mendapat pengalaman tentang teknik sipil dan mendapatkan apresiasi  dari kekuatan dan kemanfaatan praktis atas metode ilmiah. Mead masuk ke universitas Harvart, tempat ia menghabiskan waktu setahun untuk mengkaji filsafat dan psikologi bersama dengan bahasa latin, yunani dan subyek lain. Pada waktu itu ia tertarik pada romantic dan idealistis. Kemudian 3 tahun ia pergi ke jerman ia mempelajari pandangan atau filosofi idealis jermania semakin menunjukan keterkaitannya pada psikologi ketimbang filsafat. Pada tahun 1891 ia  kembali ke AS mengajar di universitas Michigan ia mengajar selama 3 tahun. Di tahun 1894 ia bergabung dengan departemen filosofi di unifersitas Chicago dan tetap disana hingga meninggal di tahun 1931.
2.      Pegaruh Intelektual terhadap Mead
Mead sangat dipengaruhi oleh teori Darwin, tapi menurut Graham Sumner Mead bukanlah Darwinis sosial karena tidak mengajarkan pendekatan laissez-faire. Penjelasan Mead tentang pikiran atau kesadaran manusia (mind or human consciousness) sejalan dengan evolusi Darwin yang didalamnya terdapar prosedur trial and error yang bersifat subhuman. Padahal Mead menekankan pada fungsi praktis dan adaptif dari akal budi manusia sejalan dengan filsafat pragmatis. Tekanan Mead pada kemajuan juga mencerminkan pengaruh Hegel yaitu dialektis dan ahli filsafat idealistis Jerman lainnya. Analisa dialek tersebut antara flesh and blood sangat kuat pada proses dimana bentuk-bentuk yang lama digantikan bentuk yang baru.
3.      Komunikasi dan munculnya pikiran
Perspektif Mead dalam behaviorisme merupakan perluasan dari behaviorisme Watson. Watson dalam contohnya bahwa pengalaman subyektif individu dapat dijelaskan sebagai suatu kesadaran akan proses-proses psikologis. Misalnya ketika seseorang mengalami ketakutan jantungnya akan berdetak kencang, begitupula dalam berpikir yang akan memiliki getaran-getaran yang dirangsang dari suara bawah sadar. Mead mengakui pentingnya kesadaran subyektif atau proses-proses mental ang tidak langsung tunduk pada pengukuran empiris yang subyektif posisi Mead adalah bahwa persepsi tentang dunia luar, proses-proses fisiologis, dan kesadaran subyektif, semua sangat saling tergantung. Pikiran merupakan suatu proses, sehingga dengan prose situ invidu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Komunikasi terbuka (overt) dan berpikir yang tidak dapat dilihat (covert thinking) adalah seperti dua sisi mata uang yang sama.
a.      Isyarat versus simbol dalam proses komunikasi
Dinamika proses kominikasi dapat digambarkan dengan “percakapan isyarat” (gestural conversation) baik yang dilakukan manusia ataupun binatang. Ketika binatang (anjing) hendak melakukan perkelahian pasti akan memberikan isyarat dari kemarahannya berupa geraman, gretakan gigi, ataupun posisi untuk melawan. Sedangkan manusia misalkan geng dalam pertengkaran yang menunjukkan amarahnya dengan kepalan tinju, merogoh saku mengambil pisau, atau yang lain. Namun manusia diberikan karakteristik istimewa dari simbolnya yaitu bahwa mereka tidak terbatas padaisyarat-isyarat fisik karena bisa menunjukkan simbolnya melalui kata-kata. Manusia dapat berkomunikasi tentang obyek dan tindakan jauh diluar batas waktu dan ruang. Sedangkan binatang tidak bisa. Singkatnya, kemampuan manusia untuk menggunakan simbol suara yang dianut bersama, memungkinkan perluasan dan penyempurnaan komunikasi jauh melebihi apa yang mungkin melalui isyarat fisik saja, namun merupakan satu dunia simbol yang dikonstruksikan.
b.      Proses berpikir
Hubungan antara komunikasi dengan kesadaran subyektif begitu dekat, sehingga proses berpikir subyektif atau refleksi dapat dilihat dari sisi yang tidak kelihatan dari komunikasi itu. Misalkan seseorang yang berbicara namun tanpa adanya yang nantinya akan menimnulkan penyesalan. Mead menekankan bahwa proses berpikir itu dimulai atau dirangsang oleh munculnya suatu masalah, atau hambatan yang menhalangi tindakan-tindakan individu untuk memenuhi kebutuhan dan tujuannya. Pikiran atau kesadaran muncul dari proses penggunaan simbol yang tidak telihat, khusunya simbol bahasa yakni berkaitan dengan intelgensi manusia yang mencakup kesadaran tentang diri. Fase interpretative antara persepsi tentang rangsangan itu danrespons perilaku yang mencerminkankebutuhan-kebutuhan tertentu dari individu serta rencana-rencana tindakannya yang bersifat laten.

4.      Konsep Diri dan Organisasi Sosial
Sesunggguhnya konsep diri seseoorang mungkin merupakan obyek dari refleksi yang sadar tentang diri lebih daripada satu obyek apa saja dilingkungan eksternal, termasuk orang lain. Individu secara bertahap dia memperoleh suatu konsep diri dalam interaksinya dengan orang lain sebagai bagian dari proses yang sama dengan pikiran itu sendiri. Konsep diri itu pada dasarnya terdiri dari jawaban atas pertanyaan “Siapa Aku?”. Mead  mengemukakan keterlibatannya khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung atau dalam suatu komunitas yang terorganisasi.
a.      “I” dan “Me” sebagai Dua Dimensi Konsep Diri
Diri sebagai obyek ditunjukkan Mead dengan konsep “Me”, Diri sebagai subyek yang bertindak ditunjukkan dengan konsep “I”. Hubungan antara “I” dan “Me” itu bersifat saling tergantung secara dinamis untuk sebagian besar, tindakan-tindakan yang nyata dari individu akan mengungkapkan “Me”-nya. Secara laten individu menilai stuasi lingkungan menurut sikap-sikap yang dimiliki bersama atau respon-respon bersama dalam kelompok itu secara potensial. Sekalipun perilaku nyata dari “I” itu sangat dipengaruhi oleh definisi-definisi orang  lain yang tersenyawa dalam “Me” , “I” itu tidak seluruhnya ditentukan oleh “Me”. Analisa Mead tentang “I” memberikan suatu peluang yang besar untuk kebebasan dan spontanitas. Segi perilaku yang spontan dan tidak terencan itu menjadi sumber utama untuk inovasi dan perubahan dalam sikap-sikap anggota kelompok atau komunitas.
b.      Tahap-tahap dalam Perkembangan Konsep-diri
Mead menekankan tahap-tahap yang dilewati anak-anak, karena secara bertahap mereka memperoleh suatu konsep-diri yang menghubungkan mereka dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung dalam keluarga mereka dan kelompok-kelompok lain, dan akhirnya dalam komunitas itu secara keseluruhan.
Mead membedakan 3 fase dalam perkembangan konsep-diri. Fase pertama yaitu bermain, dimana si indivdu itu “memainkan” peran sosila dari seseorang yang lain. Pada tahap ini anak-anak mampu berorganisasi sosial hanya dalam batas tertentu saja. Yang kedua tahap pertandingan(game), tahap ini dapat dibedakan dari tahap bermain dengan adanya suatu tingkat organisasi sosial yang lebih tinggi. Konsep diri setiap peserta dalam pertandingan terdiri dari kesadaran subyektif individu terhadap peranan khusus, termasuk persepsi-persepsi mengenai harapan dan respons dari yang lain. Tahap ketiga yaitu perkembangan diri,  apabila individu mengontrol perilakunya sendiri menurut peran-peran umum yang bersifat impersonal, maka mereka mengambil peran dari apa yang disebutnya generalized other. Komunitas atau kelompok sosial yang terorganisasi yang memberikan kepada individu  itu kesatuan dirinya boleh disebut the generalized other. Sikap generalized other itu adalah sikap komunitas itu secara keseluruha. Jadi, misalnya dalam kasus suatu keompok sosial seperti tim sepa bola, tim itu adalah generalized other sepanjang tim itu sebagai suatu proses kegiatan sosial yang terorganisasi masuk kedalam pengalaman setiap orang anggota tim secara individual.
Mead mengemukakan, orang mungkin mampu menimgkatkan dan memperbesar konsep dirinya dengan memasukkan kedalamnya identitas kolektif kelompok itu.
c.       Mengambil Peran Orang Lain sebagai Dasar Organisasi Sosial
Organisasi sosial memperlihatkan intelegensi manusia dan pilihannya. Dengan munculnya intelegensi (atau kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan simbol-simbol), individu-individu dalam melampaui (transcend) banyak batas yang muncul dari sifat biologisnya atau lingkungan fisik. Dalam kasus ekonomi, partisipasi pembeli dan penjual dalam pasar mengandaikan bahwa masing-masing dapat mengambil peran orang lain. Dalam menawarkan barang-barang jualan, si penjual menempatkan dirinya dalam perspektif pembeli yang potensial. Begitupun institusi agama yang mempunyai ide sehingga bisa mempengaruhi melalui respons yang diberikan orang lain.

II.                PARA PERINTIS LAINNYA DALAM PSIKOSOSIAL
1.      Cooley: “Looking-Glass” dan Kelompok Primer
Cooley lahir di Ann Arbor, Michigan, tahun 1864 dan kuliah di Universitas Michigan. Ayahnya seorang pengacra yang ambisius dan terpandang yang pada tahun itu juga menjbata sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Michigan. Colley tamat kuliah tahun 1887 dan bekerja di Commerce Commision dan di Cencus Bureau, tetapi lalu tertarik  di kehidupan akademis karena kegemarannya untuk mebaca, menulis dan merenung. Dia meninggal tahun 1929.
Judul buku yang terkenal dari Cooley adalah Human Nature and Social Order. Dalam buku tersebut berisi bahwa individu dan masyarakat saling berhubungan secara organis, tidak dapat dimengerti satu sama lain, gaya hidup, warisan biologis, dan sejumlah respons dasar dalam perkembangan kepribadian individu. Bagi Cooley yang terpenting adalah bagaimana orang menangkap apa yang dipikirkan orang tentang dia. Cooley menunjuk aspek konsep-diri dengan istilah looking-glass self bahwa setiap hubungan sosial dimana seseorang itu terlibat merupakan cerminan diri yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri. Berikut ini gambaran Cooley tentang looking-glass self.
Each to each a looking-glass
Reflects the other that doth pass
Ketika kita melihat wajah, bentuk, pakaian kita di depan cermin, dan meras tertarik karena semuanya itu milik kita.. begitu pula dengan imajinasi, kita menerima dalam pikiran orang lain suatu pikiran tentang penampilan, cara, tujuan, perbuatan, karakter, dan seterusnya, dan dengan berbagi cara yang dipengaruhi olehnya.
Suatu ide diri semacam ini nampaknya memiliki tiga elemen yang penting: imajinasi tentang penampilan kita kepada orang lain; imajinasi tentang penilaian mengenai penampilan itu, dan suatu jenis perasaan diri, seperti kebangaan atau malu.
Cooley mengemukakan bahwa dir atau kelompok atau “we” hanyalahsuatu “I” yang mencakup orang lain. Seseorang mengidenfikasikan dirinya dengan suatu kelompok dan berbicara tentang kemauan bersama, pandangan, pelayanan, atau yang lain-lainnya menurut “we” dan “us”.
Cooley melihat kelompok primer sebagai “wadah terbentuknya watak manusia” (nursery of human nature) dimana setiap individu memulai khidupan yang actual dalam lingkungan sosial yang pertama sekali dan paling pokok (primitive) dan satu-satunya tipe yang dapat ditemukan dimana-mana. Kelompok primer disebut primer dalam pengertian bahwa kelompok itu memberikan kepada individu pengalaman tentang kesatuan sosial yang paling awal dan lengkap, dan juga dalam pengertian bahwa kelompok itu tidak mengalami perubahan dalam derajat yang sama seperti pada hubungan-hubungan yang lebih luas, tetapi merupakan suatu sumber yang termasuk permanen dari mana struktur sosial itu muncul. Kelompok atau hubungan sekunder lebih impersonal sifatnya, yang mencerminkan tingkat keakraban antarpribadi yang jauh lebih rendah.
Tekanan pada sifat subyektif, menurut Cooley tercermin dalam definisi mengenai institusi sosial. Suatu institusi hanyalah suatu tahap dari pikiran orang banyak (public mind) yang bersifat mapan dan tegas, dia tidakberbeda dalam sifat dan pokonya dari pandangan umum, meskipun yang sering kelihatan adalah bahwa dia memiliki suatu eksistensi tertentu bersifat indipenden, apabila kita melihat sifat permanennya dan apabila kita melihat kebiasaan-kebiasaan serta simbol-simbol dimana institusi itu terselubung.
Tekanan Cooley pada umunya adalah padapandangan bahwa masyarakat )struktur, institusi, pola normatifnya, dll) ada dalam pikiran dan perasaan individu. Cooley mengemukakan pandangan umum adalah suatu organisasi, suatu produk komunikasi yang bersifat kooperatif dan saling memperngaruhi. Mungkin pandangan umum itu berbeda dari jumlah apa yang dapat dipikirkan individu secara terpisah, seperti sebuah kapal yang dibangun oleh seratus orang berbeda dari seratus kapal yang masing-masingnya dibangun oleh satu orang.
2.      Thomas dan Definisi Situasi
William I. Thomas lahir tahun 1863 di desa Virginia. Ayahnya seorang petani dan pengkhotbah dalam gereja Methodis.  Kemudian keluraganya pindah di Tennessee dan kuliah di universitas Tennessee. Setelah tamat diamengajar bahasa di almamaternya selama5 tahun. Dia pindah ke Jerman mengajar sekaligus pendidikannya di Oberlin College. Di Chicago William bertemu Mead dan Dewey. Sebagian besar karurnya itu adalah mengajar sosiologi di Universutas Chicago. Pada usia 55 tahun William di tangkap FBI karena melanggar Mann Act yaitu dengan membawa nyonya-nyonya muda yang melintasi baras Negara untuk tujuan immoral. Setelah bebas ia pindah ke New York. Tahun 1926 menjabat presiden American Sociological Association. Dia meninggal dunia tahun 1947, pada usia 48 tahun.
Karya Thomas dibuat bersama Florian Znaniecki adalah The Polish Peasant in Europe and America. Sumbangan Thomas yang penting dalam teori terhadap perkembangan interaksionisme simbol adalah tekanannya pada pentingnya definisi situasi seseorang yang bersifat subyektif dan prinsip dasar yang kadang-kadang dikenal sebagai “Theorem Thomas, yakni “kalau orang mendefiniskan situasi sebagai real, maka akan real pula dalam konsekuensinya”. Thomas berusaha untuk mengidentifikasi factor-faktor biologis dan psikologis yang dibawa sejak lahir, yang menjelaskan perilaku manusia. The Polish peasant: (1) keinginan akan pengalaman baru, (2) keinginan akan penghargaan, (3) keinginan akan oenguasaan, (4) keinginan akan kemanan.
Thomas mengatakan, “mengawali setiap tindakan perilaku yang ditentukan sendiri, selalu ada satu tahap pengujian dan pertimbangan yang dapat kita sebut definisi situasi. Selalu ada kemungkinan untuk ketegangan dan konflik anatara definisi situasi yang diterima dalam masyarakat dan definisi individun yang bersifat spontan. Analisa situasi Thomas dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa orang yang mempunyai sikap yang berbeda atau orang yang dapat sosialisasi dalam lingkungan budaya atau subkultur yang berlainan tidak memberikan respons terhadap stimulus yang sama dengan car yang sama. Perbedaan-perbedaan dalam respons terhadap suatu situasi tertentu merupakan hasil dari suatu perbedaan dalam definisi subyektif.

III.             INTERAKSIONISME SIMBOL MASA KINI
Saat ini interaksionisme simbol merupakan satu dari teori-teori yang dikenal dengan memusatkan perhatiannya padaproses-proses sosial ditingkat mikro, termasuk kesadaran subyektif dan dinamika interaksi pribadi. Manford H.Kuhn menunjuk pada beberapa perspektif teoritis yang terbatas atau yang parsial, di mana interaksionisme simbol merupakan semacam payung. Perspektif-perspektif teoritis itu adalah teori peran , teori kelompok referens, perspektif persepsi sosial dan persepsi pribadi, teori diri, dan teori dramturgi. Salah satu tujuan Kuhn yang utama adalah mengembangkan strategi untuk pengukuran empiris yang bersifat obyektif mengenai konsep-konsep utama dalam interaksionisme simbol. Karyanya sendiri dipusatkan pada pengukuran dan anlisa konsep-diri. Karya Kuhn (Twenty Statements Test) memperlihatkan bagaimana respons-respons terhadap pertanyaan ini dapat dianalisa dan dikorelasikan dengan pelbagai variabel sosiologisnya.
Kuhn dikecam Blumer karena mengesampingkan atau mengubah sifat munculnya kenyataan sosial itu. Mereka mempertahankan bahwa konsep-diri itu muncul dalam proses aksi dan interaksi. Institusi sosial atau sistem sosial muncul melalui proses interpretasi subyektif dan komunikasi antarpribadi. Blumer, murid Mead itu, berpegang dan mengembangkan tekanan Mead yang fundamental pada proses interaksi yang terus-menerus. Bagi interaksionisme simbol, organisasi sosial tidak menentukan pola-pola interaksi; organisasi sosial muncul dari proses interaksi.
Blumer myatakan bahwa orang tidak bertindak terhadap kebudayaan, struktur sosial atau semacamnya; mereka bertindak terhadap situasi. Organisasi sosial masuk dalam tindakan hanya dalam hal dimana dia membentuk situasi dimana orang itu bertindak. Dan lagi organisasi sosial adalah suatu kerangka didalam mana satuan-satuan yang bertindak itu mengembangkan tindakan-tindakannya. Segi-segi struktural ‘kebudayaan’, sistem-sistem sosial, stratifikasi sosial, atau peran-peran sosial, membentuk kondisi-kondisi bagi tindakan mereka, tetapi tidak menentukan tindakan mereka.
1.      Konsep-Diri: Model Identitas-Peran Menurut McCall dan Simmons
Identitas-peran terdiri dari gambaran diri yang bersifat ideal yang dimiliki oleh individu sebagai orang yang menduduki pelbagai posisi sosial. Identitas-peran diungkapkan secara terbuka dalam pelaksanaan peran (role performance), dan tingkat dukungan sosial atau kurang didukung yang diterima dari orang lain akan diterima dari orang lain akan membantu menentukan pentingnya suatu identitas-peran tertentu dalam konsep-diri seseorang secara keseluruhannya.
Dalam model McCall dan Simmons, pentingnya identitas tertentu secara relative juga dipengaruhi oleh tingkat komitmen individu dan investasinya dalam identitas itu, dan oleh tingkat kepuasan yang diperoleh dalam melaksanakan perannya itu.
Konsep-diri yang diidealkan tidak perlu selalu harus merupakan sesuatu yang bersifat positif atau memuaskan hati. Setiap tindakan yang ditampilkan dalam hal tertrntumerupakan ungkpan dari konsep-diri, dan setiap reaksi orang lain memiliki potensi untuk memperkuat atau merusakkan konsep-diri, untuk meningkatkannya atau menjatuhkannya. McCall dan Simmons menunjukkan bahwa berlawanan dengan hierarki pentingnya identitas-peran, yang secara relative bersifat stabil, menonjolnya pelbagai identitas-peran ini akan bermacam-macam sesuai dengan tipe situasi dimana individu-individ terlibat.
2.      Perspektif Interaksionisme Simbol mengenai Penyimpangan
Pentingya reaksi sosial terhadap konsep-diri seseorang dapat kita lihat dalam studi-studi mengenai penyimpangan. Tekanan pada negosiasi mengenai arti situasi dan perilaku serta respons individu terhadap satu sama lain menurut definisi hasil negosiasinya itu. Penyimpangan tidak hanya sekadar suatu manifestasi suatu cirri pembawaan sejak lahir atau cacat kepribadian. Pola-pola normative bersama atau harapan-harapan orang lain mungkin tidak konsisten dengan dorongan hati atau kepentingan kita. Perilaku menyimpang menjadi sifat pokok dalam interaksi dan akhirnya merupakan elemen utama dalam identitas-diri si penyimpang itu.
Teori cap (labeling theory) dimana masyarakat itu sendiri menciptakan orang yang menyimpang dengan membuat peraturan-perturan yang pelanggarannya menimbulkan penyimpangan dan dengan memperlakukan secara khusus beberapa dari mereka yang bersalah dalam pelanggaran seperti itu. Kriteria yang digunakan untuk membedakan penyimpangan yang dianggap sepele dan yang diberi perlakuan khusus yaitu kekacauan sosial atau bahaya perorangan yang merupakan akibat dari suatu tipe penyimpangan tertentu.  Pelanggar-pelanggar hukum yang berada pada jenjang hirarki yang paling bawah, cenderung untuk dipisahkan dan diperlakukan sebagai pelanggar hukum daripada mereka yang berada pada jenjang sosial-ekonomi yang lebih tinggi.

IV.             GOFFMAN DAN PENDEKATAN DRAMARTURGI TERHADAP DINAMIKA INTERAKSI
Pendekatan Goffman mencerminkan wawasan yang dulu dikemukakan oleh Shakespeare bahwa didunia itu merupakan suatu panggung dan manusia hanyalah sekadar pemain-pemain saja diatas panggung ini; masing-masing masuk ke dalam panggung, memainkan suatu peran tertentu atau membawakan lakon dan akhirnya keluar. Karya Goffman The Presentation of Self in Everyday Life pendekatan dasar dengan menggunakan bahasa teater dalam mengalisa pelbagai strategi yang digunakan individu dalam usahanya untuk memperoleh kepercayaan sosial terhdaap konsep-dirinya. Peristiwa sosial memiliki sifat dramarturgi, karena semua bentuk perilaku mempunyai implikasi yang potensial untuk konsep-diri si pelakon yang terlibat dalamnya. Usaha yang berhubungan dengan pengaturan kesan mungkin dilihat sebagai usaha untuk mengontrol definisi situasi yang umum karena identitas individu sangat erat hubungannya dengan definisi sosial tentang situasi dimana mereka terlibat.
Analisa dramaturgi Goffman yang menarik perhatian adalah pengakuannya akan banyaknya cara dimana orang bekerja sama dalam melindungi pelbagai tuntutan satu sama lain berhubungan dengan kenyataan sosial yang sedang mereka usahakan untuk dipentaskan atau identitas yang mereka coba tampilkan.
Dengan cara yang tak terbilang jumlahnya, orang terus terancam kemungkinan hilang muka dalam hubungan sosialnya. Tetapi mungkin karena tidak ada orang yang kebal terhadap ancaman akan penampilan yang kacau itu, orang sering bekerja sama dalam membantu mendukung identitasnya satu sama lain dan mempertahankan kesan-kesan yang sedang ditampilkan orang lain.
1.      Tim dan Audiensnya
Suatu tim dramaturgi adalah suatu kelompok orang-orang yang bekerja sama untuk mementaskan suatu penampilan tertentu. Audiens diharapkan untuk menerima definisi tentang kenyataan, termasuk identitas mereka yang terlihat, yang diperankan oleh tim itu. Namun anggota tim akan sedikit banyak sadar bahwa anggota audiens tidak memiliki sifat kenyataan yang direncanakan atau yang dipentaskan diatas panggung itu. Misalnya, seorang professor mungkin mencoba terlebih dahulu suatu teknik kelas yang baru didepan rekan-rekan sejawatnya dan meinta tanggapan mereka sebelum membawakannya didepan audiens mahasiswa.
Goffman membedakan antara bagian “pentas-depan” (frontstage) dan “pentas belakang” (backstage). Pentas-depan adalah bagian atau tempat dimana saja audiens iru diharapkan ada, sedangkan pentas-belakang merupakan tempat yang terlarang bagi audiens atau orang luar lainnya. Gaya nalisa Goffman menunjukkan lemahnya pembedaan antara penampilan (appearance) dan kenyataan (reality), dengan menerima secara eksplisit akan pandangan, bahwa kenyataan itu bagaimanapun juga merupakan konstruksi sosial.
Para anggota suatu tim sering tidak mampu mempertahankan definisi situasi yang dapat diterima oleh audiens dan melakonkan pentasnya dengan baik, meskipun mereka berinteraksi untuk sesuatu berlainan.
2.      Kesulitan Interaksi yang Dihadapi Orang Cacat
Suatu masalah sosial utamayang dihadapi orang cacat dalah bahwamereka itu abnormal dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain tidak merasa enak untuk berinteraksi dengan mereka ata tidak mapu berinteraksi dengan mereka sedemikian rupa sehingga cacat itu sendiri tidak menjadi pokok penting dakam interaksi itu. Rintangan yang nampak secara fisik merupakan sumber noda atau cacat (stigma). Stigma adalah sifat apa saja yang sangat jelas dan diandaikan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kepribadian individu sehingga individu itu tidak mampu untuk bertindak menurut cara yang biasa. Jadi masalah utama dan mungkin yang paling penting bagi orang cacat adalah mengatasi asumsi negative yang diberikan orang lain dengan memperlihatkan.
3.      Konteks Interaksi
Goffman menunjuk pada pemahaman bersama (shared understanding) sebagai kerangka (frame) dimana peristiwa-peristiwa sosial itu terjadi. Individu-individu yang terlibat dalam suatu usaha bersama, mungkin berbeda dalam pemahaman mereka mengenai apa yang terjadi. Pelbagai peran sosial yang diterima secara umum ini dimengerti dan internalisasikan oleh individu sebagai suatu bagian yang penting dati konsep-diri yang mereka usahakan untuk memproyeksikannya pada orang lain.

  contoh simbol sebagai media interaksi:
simbol diatas menunjukkan bahwa arti sebuah kedamaian, tanpa harus disertai konflik untuk dapat hidup harmonis dalam masyarakat

Sumber Buku: Teori Sosiologi 
Sumber Gambar : Google Image